Akhir Pax Romana

Akhir Pax Romana: Munculnya Kristen dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi

SejarahInternasional.com~~ Akhir Pax Romana menandai perubahan besar dalam sejarah Kekaisaran Romawi. Pax Romana, atau Perdamaian Romawi, berlangsung dari 27 SM hingga 180 M. Periode ini dimulai dengan naiknya Oktavianus sebagai Kaisar Augustus. Selama lebih dari satu abad, kekaisaran menikmati stabilitas politik dan ekonomi. Namun, setelah Kaisar Marcus Aurelius meninggal pada 180 M, kekaisaran mulai mengalami kemunduran.

Banyak konflik terjadi meskipun Pax Romana disebut sebagai masa damai. Perang, pemberontakan, dan ketegangan sosial terus terjadi. Namun, kekuatan militer Romawi berhasil menjaga stabilitas. Setelah Marcus Aurelius wafat, putranya Commodus menggantikannya. Pemerintahannya dipenuhi kekacauan dan konspirasi. Hal ini mempercepat runtuhnya ketertiban di Romawi.

Pada 192 M, seorang pelatih gladiator bernama Narcissus membunuh Commodus. Setelah kematian Commodus, Kekaisaran Romawi terjerumus ke dalam perang saudara yang berlangsung lama, di mana berbagai faksi berjuang untuk menguasai tahta. Tahun 193 M menjadi terkenal dengan sebutan Tahun Lima Kaisar, karena dalam periode yang sangat singkat, lima orang berbeda memperebutkan dan bergantian memimpin kekaisaran, masing-masing berusaha mengklaim kekuasaan yang sebelumnya dimiliki oleh Commodus. Peristiwa ini menunjukkan betapa rapuhnya stabilitas politik Romawi pada masa itu. Setelah pertarungan sengit, Septimius Severus berhasil menguasai Romawi. Namun, kebijakannya memperluas wilayah malah melemahkan kekaisaran. Pengeluaran militer meningkat, sementara ancaman dari luar semakin besar.

Perang dan Krisis Politik di Romawi

Kekaisaran Romawi mengalami serangkaian perang dan konflik internal. Septimius Severus berusaha memperkuat kekaisaran dengan menaklukkan wilayah baru. Namun, keberhasilannya hanya bertahan sementara. Setelah kematiannya, kekaisaran kembali tidak stabil. Para penerusnya tidak mampu menjaga kestabilan politik. Banyak kaisar terbunuh dalam perebutan kekuasaan.

Pada abad ketiga, invasi dari berbagai suku barbar semakin sering terjadi. Goth menyerang Yunani, sementara suku-suku lain menjarah kota-kota Romawi. Wabah penyakit juga menyebar di seluruh wilayah kekaisaran. Antara 250 dan 271 M, Wabah Cyprianus menewaskan ribuan orang. Dua kaisar juga menjadi korban wabah ini.

Ketidakstabilan politik semakin memburuk setelah Diocletianus berkuasa. Ia mencoba melakukan reformasi dengan membagi kekaisaran menjadi dua bagian. Sistem ini dikenal sebagai Tetrarki, di mana empat kaisar memerintah bersama. Namun, sistem ini tidak bertahan lama. Setelah Diocletianus mengundurkan diri, perang saudara kembali terjadi. Kaisar-kaisar yang bersaing saling memperebutkan kekuasaan.

“Baca juga: Dampak Besar Reformasi Protestan: Ketika Kekristenan Terbagi Menjadi Banyak Aliran”

Kebangkitan Kristen dalam Kekaisaran Romawi

Saat Kekaisaran Romawi menghadapi perang dan krisis ekonomi, agama Kristen semakin berkembang. Wabah Cyprianus berperan besar dalam penyebaran agama ini. Banyak orang Romawi kehilangan kepercayaan terhadap dewa-dewa mereka. Sementara itu, komunitas Kristen menawarkan harapan dan solidaritas.

Orang-orang Kristen menghadapi penganiayaan, terutama di bawah pemerintahan Diocletianus. Ia mengeluarkan dekrit yang melarang ibadah Kristen. Gereja-gereja dihancurkan, manuskrip dibakar, dan orang Kristen dipenjara. Meskipun demikian, agama Kristen terus berkembang.

Pada abad keempat, perang saudara mengubah nasib umat Kristen. Beberapa kaisar yang bersaing mulai memberikan dukungan terhadap agama ini. Konstantinus menjadi tokoh kunci dalam legalisasi Kristen. Setelah memenangkan perang saudara pada 324 M, ia menjadi penguasa tunggal Kekaisaran Romawi.

Peran Konstantinus dalam Penyebaran Kristen

Konstantinus memainkan peran besar dalam kebangkitan Kristen. Ia mengeluarkan Edik Milano pada 313 M yang melegalkan agama Kristen. Keputusan ini mengakhiri penganiayaan terhadap umat Kristen. Konstantinus juga mendukung pembangunan gereja dan memberikan perlindungan kepada umat Kristen.

Banyak sejarawan percaya bahwa Konstantinus sendiri menjadi seorang Kristen. Sebelum kematiannya pada 337 M, ia membaptis dirinya sendiri. Setelah kematiannya, agama Kristen semakin mengakar dalam politik Romawi. Pada 380 M, Kaisar Theodosius I menjadikan Kristen sebagai agama resmi kekaisaran.

Namun, setelah kematian Konstantinus, perang saudara kembali melanda Romawi.. Para penerusnya saling bertikai, memperburuk kondisi kekaisaran. Meskipun agama Kristen semakin kuat, stabilitas politik terus melemah.

“Simak juga: DNA Bongkar Rahasia Jack The Ripper, Pembunuh Legendaris Akhirnya Diketahui”

Perpecahan Kekaisaran Romawi

Setelah Konstantinus wafat, kekaisaran terbagi menjadi dua bagian. Kaisar di barat memerintah dari Roma, sementara kaisar di timur berpusat di Konstantinopel. Kedua bagian ini kadang bekerja sama, tetapi sering kali bertentangan.

Perpecahan ini juga terlihat dalam agama Kristen. Gereja di barat berkembang menjadi Gereja Katolik Roma. Sementara itu, gereja di timur berkembang menjadi Gereja Ortodoks. Perbedaan doktrin semakin memperjelas perpecahan antara timur dan barat.

Bagian timur kekaisaran tetap kuat. Konstantinopel berkembang menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan. Sementara itu, bagian barat semakin melemah akibat serangan dari suku barbar.

Serangan Barbar dan Runtuhnya Romawi Barat

Sepanjang abad keempat dan kelima, Kekaisaran Romawi Barat mengalami kemunduran. Serangan dari berbagai suku barbar semakin intens. Bangsa Goth, Vandal, dan Hun menyerang wilayah barat. Roma dijarah dua kali, pertama oleh Goth pada 410 M dan kemudian oleh Vandal pada 455 M.

Pada 476 M, Romawi Barat resmi runtuh. Kaisar terakhir, Romulus Augustulus, digulingkan oleh pemimpin barbar Odoacer. Kekaisaran Romawi Barat tidak pernah pulih setelah kejadian ini. Namun, Kekaisaran Romawi Timur tetap bertahan.

Lanjutan Kekaisaran Romawi di Timur

Meskipun bagian barat runtuh, bagian timur tetap kuat. . Para pemimpin Bizantium secara aktif memperkuat kekuasaan mereka melalui reformasi militer, diplomasi yang cermat, dan pengelolaan ekonomi yang bijaksana, memungkinkan mereka untuk bertahan meskipun menghadapi berbagai ancaman dari luar maupun dalam selama berabad-abad. Kaisar-kaisar Bizantium terus menyebut diri mereka sebagai penguasa Romawi.

Konstantinopel menjadi pusat peradaban selama berabad-abad. Kota ini berkembang menjadi pusat perdagangan dan budaya di Eropa dan Asia. Namun, pada 1453, Kekaisaran Bizantium akhirnya jatuh. Pasukan Ottoman menaklukkan Konstantinopel, mengakhiri jejak terakhir Kekaisaran Romawi.